Jumat, 19 Apr 2024
  • Welcome to the SDIT Tunas Harapan Ilahi's webpage. We hope you enjoy exploring our website.

Antara Marwah dan Teladan Guru

Keberadaan guru tak kan pernah tergantikan di era apa pun. Bahkan ketika masanya semua mesin mampu menggantikan tugas manusia. Kisah Sang Kaisar yang menanyakan berapa guru yang selamat pasca pemboman dahsyat yang meluluhlantakkan negara Jepang kala itu, memberi pelajaran berharga pada dunia. Jepang bangkit kembali hanya dalam kurun 20 tahunan, 50 tahunan lebih awal dari prediksi dunia. Semakin membuktikan tersebabnya kemajuan sebuah bangsa, kontribusi guru mutlak dibutuhkan, condisio sine qua non.

Finlandia, negara yang paling sering digadang-gadang sebagai kiblatnya dunia pendidikan Internasional. Salah satu negara di semenanjung Scandinavia ini terus bergeliat menyempurnakan sistem pendidikan dan membuktikan keberhasilan sistemnya, dengan memprioritaskan kualitas guru. Di sana, profesi guru merupakan profesi bergengsi dan sarat seleksi dengan insentif tinggi.

Gagasan Nadiem Makarim yang disampaikan pada sebuah seminar tentang Pengembangan SDM Indonesia Menuju Ekonomi Digital, beberapa waktu sebelum terpilih menjadi Menteri, pun menarik untuk dicermati. Lima poin penting yang digagas tersebut adalah English, Coding, Mentoring, Statistik dan Karakter. Kelima hal tersebut dianggap akan menjawab tantangan di kebutuhan era digital. Poin ketiga yakni mentoring, menegaskan pentingnya menghadirkan sosok sebagai pelaku transfer knowledge dan value, sebagai faktor penentu kebangkitan ekonomi Indonesia berbasis pengembangan sumber daya manusia. Kehadiran guru dalam wujud jasadiyah dan ruhiyah dalam dunia pendidikan merupakan keniscayaan. Proses pendidikan yang tak sekedar dimaknai dengan penyampaian ilmu, namun penanaman nilai dan pembangunan karakter.

Di poin kelima, karakter sudah didengungkan Nadiem, menjadi hal penting yang akan mempengaruhi kualitas seorang manusia. Dua poin yang satu sama lain saling terkait. Pada pidato Anugerah Bunda PAUD 2019 di Balai Kartini, beberapa hari lalu (18/11), Nadiem, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kembali menyinggung pendidikan karakter.

“Kita harus membekali anak-anak kita dengan kemampuan beradaptasi yang mumpuni. Kita memberikan karakter, pengetahuan dan ketrampilan yang paling dibutuhkan di era sekarang dan masa depan.”

Bukan merupakan hal baru memang, jika karakter menjadi isu penting dalam dunia pendidikan. UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara eksplisit membunyikan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlaq mulia. Tujuan itu menempati urutan awal. Baru dilanjutkan manusia yang sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.

Perpres No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter secara tegas menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya Permendikbud no.20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dikeluarkan, sebagai landasan gerak pelaksanaan di sekolah-sekolah. Bagaimana hasilnya?

Makin merebaknya kasus persekusi terhadap guru yang dilakukan murid, pula orang tuanya, menunjukkan profesi guru tak lagi sebagaimana dulu yang begitu dijunjung dan dijaga. Mulai dari orangtua yang mempidanakan guru hanya karena tak suka dengan cara didik guru, hingga terbunuhnya seorang guru yang menegur murid yang berbuat salah. Viral di media sosial, cemooh para murid yang berbangga dengan prestasi yang diraih kini, ditujukan kepada guru yang dahulu meragukan bahkan menyangsikan suksesnya mereka kelak, menimbulkan respon pro dan kontra. Satu sisi murid yang dianggap tak beradab, kubu lain memandang guru yang tak memantaskan diri untuk dihormati. Cemarnya profesi guru akibat perilaku amoral segelintir dari mereka, melengkapi kompleksitas permasalahan karakter anak bangsa.

Karakter itu dididik bukan diajar. Karakter membutuhkan peran guru sebagai pendidik, bukan sekedar pengajar atau pelatih. Proses pembentukan karakter hingga terimplementasi secara spontan, membutuhkan setidaknya 3 hal: berkelanjutan, bersambung dan menyeluruh dengan tahapan knowing the good, feeling the good, doing the good (lickona, 1992).

Membangunkan karakter peserta didik membutuhkan alat pendidikan yakni keteladanan. Termaktub dalam standar proses (SNP), pendidikan karakter dilakukan dengan contoh, teladan dan pembiasaan. Karakter itu diteladankan bukan sekedar dinasehati.

Mengutak atik kurikulum, menyempurnakan sarana dan pra sarana, meningkatkan kompetensi guru di bidang akademik dan pedagogik, memang dibutuhkan. Namun hakikatnya, membentuk karakter anak lebih mudah dimulai dengan menyontoh dari yang menyuruh. Children see children do.

 

Memasuki era disrupsi, digitalisasi berbagai komponen kehidupan semakin marak. Dunia maya seakan lebih nyata dari dunia secara dzahirnya. Untuk mendapatkan ilmu tak lagi tergantung pada lembaga menunggu ceramah guru. Sekali berselancar di dunia maya, mengalir berbagai informasi yang diserap sebagai ilmu baru sebagai dampak positifnya. Sebaliknya, keberadaan guru seolah tak lagi menjadi yang utama. Apalagi jika faktanya para guru yang membersamai selama ini, jauh dari banyak tahu daripada mesin pencari yang selalu tahu dan tak pernah jemu memberitahu. Belum lagi tampilan dunia maya lewat gawai begitu menggoda, memicu komparasi tak berimbang dengan performa guru dalam letih dan dinamika kehidupannya. Era disrupsi pun makin mengerupsi marwah Sang Guru. Kini di zaman “now” masihkah guru digugu dan ditiru sebagaimana zaman “semono”?

Ditilik dari akar kata guru, secara etimologi kata “guru” diambil dari Bahasa sansekerta yang ditujukan bagi seorang yang memberi pembimbingan khususnya hal yang sifatnya kerohanian. Secara adjektif kata “guru” bermakna berat. Berat penuh wibawa dan kehebatan, yang sedianya dimiliki seseorang yang bertugas membimbing atau mengajarkan orang lain. Pemilihan istilah guru sebagai sebutan seorang pendidik profesional memilliki filosofi yang mendalam.

Kata “guru” dari asal kata dan sejarahnya menunjukkan profesi yang bermartabat dan patut dihormati. UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, menjabarkan tentang pengertian guru. Jabaran tersebut menunjukkan tugas guru bukan sekedar mengajar, tapi yang pertama adalah mendidik.

Menduduktegakkan makna guru bukan sebatas profesi, namun sebuah kedudukan sosial yang mulia, diharapkan menjadi pengingat semua. Mengingatkan penyandangnya sebagai seorang yang mengembang beban amanah tak ringan; yakni melahirkan agent of change yang menjadi penentu peradaban. Seseorang yang senantiasa berupaya menjaga perilaku agar patut digugu dan ditiru. Bagi para para murid dan orangtua, mengingatkan mereka agar menjaga marwah guru. Berkhidmah pada guru akan memanen hikmah dan berkah, bukan sekedar memetik ilmu. Karena dari sanalah adab bermula. Karakter mulia mengakar dalam jiwa terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari ( Al attas, 1980)

 

Bagimu Guru, jaga Marwahmu

Keteladanan adalah senjata dalam mendidik anak bangsa pembangun peradaban mulia.

 

 

 

Oleh : Yessy Yanita Sari

Divisi Inklusi Departemen Penjamin Mutu JSIT Indonesia

Post Terkait

0 Komentar

KELUAR
× Hubungi Kami